JAKARTA, TENGGARAPOST.ID – Hampir satu juta pekerja di Indonesia tercatat telah kehilangan pekerjaan mereka antara Agustus 2024 dan Februari 2025.
Hal itu diungkapkan Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara atau KSPN Ristadi.
Dia menyebut data tersebut berasal dari Survei Angkatan Kerja Nasional oleh Badan Pusat Statistik.
Pekerja yang terkena PHK berasal dari 14 sektor usaha, dengan penyerapan tenaga kerja hanya mencapai setengah dari jumlah tersebut.
Pengurangan tenaga kerja terutama terjadi di sektor tekstil, produk tekstil, dan alas kaki.
PHK ini dipicu oleh beberapa faktor, termasuk membanjirnya barang impor murah akibat relaksasi kebijakan impor.
Klaim Data Kasus PHK Berbeda
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mencatat klaim kasus data Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) mencapai lebih dari 50.000 kasus pada periode Januari-Juni 2025.
Jumlah ini lebih besar dari data Kementerian Ketenagakerjaan yang mencapai 42.000 kasus lebih pada periode yang sama.
Direktur Ekonomi, Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Nailul Huda menilai perbedanaan data ini lumrah terjadi lantaran ada dua jenis pekerjaan yakni pekerja formal dan informal yang sering tidak tercatat dalam data resmi pemerintah.
Bahkan dalam intansi peemerintah saja, data PHK dari Kemnaker dengn data kepersertaan aktif BPJS Ketenagakerjaan juga tidak selaras. Dia bilang Kepesertaan aktif BPJS Ketenagakerjaan terus mengalami penurunan salah satu penyebabnya adalah peningkatan angka PHK di tanah air.
“Data pekerja kepesertaan aktif BPJS Ketenagakerjaan terus menurun dimana awal tahun mencapai 42,5 juta peserta aktif, menjadi 39 juta peserta aktif di Mei 2025,” katanya dikutip dari Kontan.co.id, Minggu (10/8/2025).
Untuk itu, menurut Nailul data-data ini harus dibedah lagi mana yang penerima upah mana yang bukan penerima upah. Hasil dari itu menurutnya yang relevan dijadikan sebagai indikator PHK dan penyerapan tenaga kerja.
Nailul juga menyoroti banyaknya kasus PHK pada pekerja informal utamanya di sektor perdagangan karena sepinya pusat pembelanjaan dan sebagainya.
“Seharusnya ini juga tercatat sebagai PHK dimana mereka tidak mendapatkan pekerjaan kembali meskipun itu informal. Ini yang seharusnya dihitung sebagai PHK sektor informal dimana sampai saat ini saya belum melihat data dari pemerintah,” ujar Nailul.
Sebelumnya, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mencatat angka pemutusan hubungan kerja (PHK) mencapai 42.385 pekerja sepanjang Semester I 2025. Angka ini naik sekitar 32,19 persen dari periode yang sama tahun lalu, 32.064 pekerja.
Berdasarkan dokumen Tenaga Kerja Ter-PHK Satudata Kemnaker, PHK paling banyak terjadi di Jawa Tengah dengan total 10.995 pegawai. Kemudian, Jawa Barat sebanyak 9.494 pegawai dan Banten 4.267 pekerja.
Menteri Ketenagakerjaan Yassierli mengungkapkan naiknya angka PHK terjadi lantaran berbagai faktor, mulai dari internal bisnis hingga eksternal.
“PHK itu karena memang industri-nya memang pasarnya sedang turun, ada industri yang berubah model bisnisnya, kemudian ada yang ada isu terkait dengan internal, hubungan industrial, dan seterusnya,” ujar Yassierli usai Rapat Kerja dengan Komisi IX DPR di Senayan, Selasa (22/7/2025).
Kepala Badan Perencanaan dan Pengembangan Ketenagakerjaan Kemnaker Anwar Sanusi mengakui bahwa secara akumulasi data PHK di tahun ini lebih besar ketimbang periode yang sama pada tahun lalu.
Namun secara bulanan, tercatat jumlah PHk mulai mengalami penurunan. Di bulan Juni 2025, tercatat PHK mencapai 1.609 pekerja, turun dibandingkan catatan bulan Mei 2025 yang mencapai 4.702 pekerja.
“Kalau dari sisi jumlah kan lebih besar ya dibanding dengan tahun lalu, karena memang tahun ini ada momentum sekitar bulan Januari itu kan PHK yang sangat besar ya jumlah dalam satu perusahaan itu (Sritex) besar sekali, sehingga akhirnya menambah jumlah dari yang per PHK,” jelas Anwar. (Kontan)
Komentar